Urgensi E-Notary di saat Pandemi, Pergolakan antara Kepastian Hukum dengan Kemanfaatan Hukum Sumber: Urgensi E-Notary di saat Pandemi, Pergolakan antara Kepastian Hukum dengan Kemanfaatan Hukum

[REPOST]

Ada kendala formil yang membatasi gerak notaris secara daring, yaitu terkait keabsahan akta notaris dalam konsep E-notary. Adakah solusi alternatifnya?

 

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 mengharuskan masyarakat untuk membatasi interaksi fisik. Sehingga, perusahaan menerapkan kebijakan kepada karyawannya untuk Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah. Tak terkecuali, untuk pekerjaan jasa layanan hukum, baik yang diselenggarakan oleh pengacara/advokat maupun notaris sebagai pejabat umum.

 

Khusus untuk profesi pengacara, secara umum sudah menggunakan layanan elektronik sebagai solusi dalam memberikan jasa maupun bantuan hukum pada kondisi darurat ini. Namun, untuk profesi notaris, dinilai masih gamang mentransformasi diri untuk menyelenggarakan jasanya secara elektronik (e-notary/cyber notary). Lantas, apa yang menjadi sebab?

 

Merespon hal tersebut, Notaris, Dr. Udin Narsudin, S.H., M.Hum., SpN, menjelaskan terkait kewenangan notaris melalui cyber notary dan hubungannya dengan kedaruratan kesehatan masyarakat.

 

“Cyber notary adalah konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para notaris dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, seperti: digitalisasi dokumen, penandatanganan akta secara elektronik, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham secara teleconference, dan hal-hal lain yang sejenis. Beberapa waktu lalu, dunia notaris memang sudah mensosialisasikan cyber notary, walaupun sampai dengan sekarang masih sebatas konsep,” katanya kepada Kliklegal, Kamis (16/4) lalu.

 

Udin mengatakan, pada dasarnya konsep cyber notary tersebut sudah pernah diperkenalkan pada tahun 1995. Namun, berhubung belum adanya fasilitasi berupa UU yang mengatur mengenai cyber notary tersebut, maka konsep cyber notary dimaksud menjadi hanya sebatas konsep saja, sehingga dalam konteks era digital 4.0 sekarang ini masih belum tersambung.

 

Ia menambahkan, pada prinsipnya konsep cyber notary ditujukan untuk mempermudah transaksi antara para pihak yang tinggalnya berjauhan, sehingga jarak bukan menjadi masalah lagi.

 

“Contohnya, pemegang saham yang berada di Amerika, Jepang ataupun singapura, dapat mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan menggunakan media teleconference dengan pemegang saham yang ada di Indonesia, dengan disaksikan oleh Notaris di Indonesia,” lanjutnya.

 

Sehingga, kata Udin, kehadiran fisik dari pemegang saham tersebut tidak diperlukan. Pemegang saham yang berada di luar negeri tersebut dapat dianggap tetap menghadiri RUPS  dimaksud dan hak suaranya tetapi dihitung dalam quorum kehadiran.

 

Demikian pula, Udin menuturkan pada saat penandatanganan akta RUPS dimaksud, pemegang saham yang keberadaannya di luar negeri tersebut dapat menandatangani dokumen rapat secara elektronik.

 

Lebih lanjut Udin menerangkan, konsep mengenai pelaksanaan RUPS secara teleconference ini pada dasarnya sudah diatur dalam pasal 77 UUPT.

 

“Yang pada ayat 1 nya menyatakan bahwa penyelenggaraan RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Akan tetapi ternyata tidak merubah esensi Pasal 38 UUJN,” terangnya.

 

Menurut Udin, terhambatnya pelayanan jasa secara daring karena terdapat syarat formil yang harus dipenuhi untuk mendukung keabsahan Akta Notaris. Syarat-syarat formil tersebut adalah: Pertama, dibuat dihadapan pejabat yang berwenang (Pasal 15 ayat (1) UUJN), Kedua, dihadiri para pihak (Pasal 16 ayat (1) huruf l). Ketiga, kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada Notaris ( Pasal 39 UUJN-P), Keempat, dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 40 UUJN). Bahwa syarat formil kehadiran para pihak tersebut bersifat kumulatif dan bukan bersifat alternatif, artinya satu syarat saja tidak terpenuhi maka mengakibatkan Akta Notaris tersebut mengandung cacat formil dan berarti akibatnya tidak sah dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

 

Udin menerangkan, ketentuan tersebut dipertegas dengan Putusan MARI 3556 K/Pdt/1985 (walaupun untuk akta PPAT), yang mana pihak penjual sendiri tidak datang menghadap, tetapi hanya dihadiri pembeli saja dengan keterangan bahwa para pihak telah sepakat mengadakan transaksi jual beli. Pada kasus tersebut pengadilan menegaskan, perjanjian jual beli yang tertuang dalam akta PPAT secara yuridis tidak memenuhi syarat untuk sahnya akta, karena tidak dihadiri oleh para pihak.

 

“Alasan yang menyatakan akta demikian tidak sah, arena Akta Notaris yang bersifat Partij harus memuat keterangan yang saling bersesuaian antara kedua belah pihak sebagai landasan yang melahirkan persetujuan. Dari mana Notaris mengetahui adanya persesuaian pendapat antara para pihak, kalau yang datang memberikan di hadapan Notaris hanya satu pihak saja,” tukasnya.

 

Ia juga mengungkapkan, Dirjen AHU Kemenkumham RI, Cahyo Rahadian Muzhar  pada tanggal 1 Juli 2019 ketika melakukan pengukuhan pengurus PP INI menyatakan, notaris harus dapat membantu pemerintah dalam menjadikan Indonesia sebagai tempat  tujuan investasi yang nyaman dan aman bagi para investor, khususnya dari luar negeri. Profesi notaris bersama dengan akuntan dan pengacara merupakan profesi yang sangat penting bagi pengembangan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, integritas dan profesional seorang notaris sangat diperlukan dalam mensukseskan era Industri 4.0.

 

Selain itu, dalam hal kebutuhan bisnis, memang memerlukan kecepatan dan ketepatan  menjadi urgensi yang harus diperhatikan. Namun demikian, sifat otentik dari suatu akta notaris tetap harus dijaga. Udin menjelaskan, secara normative konsep cyber notary tersebut belum diakomodasi dalam UUJN.

 

“Pasal 1 angka 7 UUJN merumuskan Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan Undang-Undang ini. Selanjutnya, Pasal 16 ayat (1) huruf i merumuskan dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris,” jelasnya.

 

Berikutnya, udin menjelaskan, sebagaimana dipahami bahwa Pembuktian Elektronik dinyatakan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE.

“(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: 

  1. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan 
  2. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta,”. (Pasal 5)

“Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”.(Pasal 6)

 

Udin menerangkan, termasuk keadaan sekarang ini dalam kedaruratan kesehatan masyarakat, tidak ada pengaturan yang dapat dirujuk atau dijadikan dasar hukum berkaitan dengan pengesampingan ketentuan UUJN dan UUJN-P, termasuk tentunya UU ITE (Pasal 5 ayat (4)).

 

Pemberlakukan UUJN juncto UUJN-P adalah hukum yang memaksa, di mana Hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya.

 

Sebagai penutup, Udin menyebutkan, PP INI tidak memberikan instruksi berkaitan dengan cyber notary, karena kata Udin, memang dalam konteks pelaksanaan kewenangan notaris bukan ranah yang bisa diatur oleh INI.

 
Masalah Klasik
 

Sebelumnya, Pakar Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Edmon Makarim mengatakan, pelayanan jasa hukum pengacara/advokat yang dilakukan secara elektronik dapat dikatakan bukan hal yang baru. Edmon justru mengkritisi pada profesi notaris yang terkesan gamang untuk memberikan pelayanan jasa secara elektronik atau e-notary.

 

“Ironisnya, masih ada satu pemberi layanan jasa hukum yang relatif tertinggal atau terkesan lamban menyikapi situasi kedaruratan, yaitu notaris sebagai pejabat umum yang sebenarnya juga memberikan pelayanan jasa publik,” kata Edmon melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (12/4) lalu.

 

Menurutnya, masyarakat sangat membutuhkan kesigapan dan dinamisnya fungsi dan peran notaris dalam menghadapi situasi kedaruratan ini,. Yang mana kata Edmon, harusnya notaris dapat menyelenggarakan pelayanan jasanya secara daring.

 

“Masalah klasik yang selalu menjadi alasan utama adalah adanya norma keharusan kehadiran fisik dalam membuat akta. Tidak dapat dilakukan secara elektronik karena harus melakukannya secara kertas sebagaimana tertuang dalam UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris yang terakhir direvisi dengan UU No. 2/2014,” jelasnya.

 

Selain itu, Edmon menambahkan, adapun kegamangan lainnya merujuk pada Pasal 5 ayat (4) UU No. 11/2008 sebagaimana diubah dengan UU No. 8/2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), juga mengecualikan akta notaris dalam konteks dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan hukum bagi para notaris, baik secara perdata, administratif atau bahkan mungkin pidana.

 

“Dengan tidak memenuhi kehadiran fisik yang dipersepsikan sebagai syarat mutlak dan tidak tergantikan oleh tatap muka secara elektronik, maka dikhawatirkan akan mempunyai konsekuensi hukum bagi notaris,” terangnya.

 

Menurut Edmon, pasal pengecualian dalam UU ITE sesungguhnya bukanlah suatu larangan, sehingga tidak dengan sendirinya menihilkan kewenangan notaris untuk melakukan kegiatannya dalam bentuk elektronik.

 

“Notaris merupakan bagian dari administrasi Pemerintahan dimana berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan dan UU Pelayanan Publik serta UU Arsip. Informasi elektronik telah diterima sebagai alat bukti dan memungkinkan pembuatan keputusan secara elektronik atas dasar informasi tersebut,” ucapnya.

 

Edmon menuturkan, terkait pembuatan akta pun tidak harus dipersepsikan hanya semata-mata dengan media kertas, sehingga secara fungsional pembuatan akta dapat dilakukan secara elektronik dengan tidak menafikan ketentuan yang berlaku. Adapun, syarat kehadiran fisik, kata Edmon, tidak bersifat mutlak dalam kondisi keadaan darurat yang diturunkan atas dasar kewenangan UU Kekarantinaan Kesehatan.

 

“Penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi menghasilkan bukti yang tak dapat ditampik sehingga memenuhi kaidah ke autentikan dan mengamankan notaris dari pertanggungjawaban teknis. Akta bawah tangan yang tidak ditampik oleh para pihak adalah berfungsi sebagaimana layaknya Akta Autentik,” paparnya.

 

Edmon berharap, semoga pendapat hukumnya tersebut, dapat menjadi pertimbangan bagi Ikatan Notaris Indonesia (INI) untuk melakukan terobosan hukum bersama instansi terkait.

 

“Jangan hanya sekedar membuat panduan pencegahan Covid-19 yang sebenarnya sudah cukup diketahui dan diterapkan oleh para notaris sesuai regulasi pemerintah,” tutupnya.

 
SF
 
Sumber: Urgensi E-Notary di saat Pandemi, Pergolakan antara Kepastian Hukum dengan Kemanfaatan Hukum | KlikLegal